Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi
setelah mengevakuasi alat tersebut dari jurang tempat jatuhnya Sukhoi
mengatakan, ternyata ELT yang dipakai pesawat buatan Rusia itu masih
menggunakan model lama dengan frekuensi di kanal 121.5,203 MHz.
Sedangkan peralatan terbaru, frekuensinya berjalan di 121.5,406 MHz.
”Padahal, Indonesia sudah pakai frekuensi terbaru,” ujar Tatang.
Perbedaan frekuensi itulah yang membuat alat tersebut tidak berfungsi
dengan baik. Terlebih, pesawat jatuh di dalam jurang yang membuat sinyal
di frekuensi lama tidak bisa keluar.
Karena itulah, begitu menerima kabar Sukhoi hilang kontak, tim pencari
tidak bisa segera menemukan bangkai pesawat. Pola pencarian dilakukan
dengan cara yang lebih luas, yakni menyisir lokasi di sekitar kontak
terakhir dengan ATC (air traffic control) Atang Sendjaja. Basarnas saat itu juga heran kenapa ELT tidak terdeteksi.
Bahkan, Juru Bicara Basarnas Gagah Prakoso mengungkapkan, tidak hanya
satelit Indonesia yang gagal menangkap frekuensi SSJ 100 itu. Dua
satelit milik negara tetangga, yakni Singapura dan Australia, yang
menjadi backup satelit Indonesia juga sama. Seharusnya, begitu kecelakaan terjadi, pesawat langsung memancarkan ELT.
Dia tidak tahu pasti kenapa pabrikan Sukhoi memasang alat tersebut.
Kalaupun standar pabrikan, alat itu terbukti tidak bisa berfungsi baik
di Indonesia. Namun, untuk lengkapnya, Tatang akan membawa ELT tersebut
ke markas KNKT. ”Akan kami selidiki lebih lanjut ELT itu,” imbuhnya.
Anggota Komisi I DPR Roy Suryo yang ikut ke Posko Cijeruk, Bogor,
berharap agar fakta tersebut segera ditindaklanjuti pabrikan Sukhoi.
Artinya, kalau serius membuka pasar di Indonesia, peralatan Sukhoi
semestinya juga menyesuaikan. ”Harus jadi koreksi kalau pesawat itu
masih dipasarkan,” katanya.
Roy menambahkan, dulu ELT bernama ELBA (emergency locator beacon aircraft).
Alat tersebut disebutnya sudah jadi standar penerbangan sipil. Alat itu
akan bekerja otomatis saat pesawat jatuh dengan tekanan tinggi. Dengan
begitu, tim pencari bisa melakukan pelacakan dengan lebih mudah dan
cepat.
Saat ini, lanjut Roy, ada tiga jenis ELT. Yakni, ELT untuk pendaki
gunung, kapal laut, dan pesawat terbang. Dinamisnya dunia penerbangan
juga memengaruhi penggunaan frekuensi tersebut. Kalau memaksa di 12.5
VHF yang jenis pancarannya line of sight atau lurus, gelombangnya tidak bisa menembus gunung.
Lebih jelas lagi, Gagah Prakoso mengatakan bahwa frekuensi yang dipakai
di pesawat Sukhoi sudah sangat lama ditinggalkan Indonesia. Frekuensi
tersebut pernah dipakai penerbangan Indonesia pada 1980-an. Jadi, sudah
sangat jadul (zaman dulu). ”Akhirnya, regulasi pada 2009 menegaskan,
semua frekuensi ELT beralih ke 406 MHz,” tuturnya.
Di Indonesia, proses perpindahan frekuensi juga tidak secepat membalik
tangan. Namun, Gagah memastikan, sejak munculnya regulasi tersebut,
tidak ada lagi pesawat di Indonesia yang ELT-nya masih di kanal
121.5,203 MHz. Tidak hanya pesawat, semua kapal juga sudah meninggalkan
frekuensi itu.
Gagah lantas menjelaskan proses penyampaian titik koordinat melalui ELT
ke radar milik Basarnas. Cukup sederhana sebenarnya. Saat pesawat
mengalami musibah, ELT lantas terpancar. Satelit menangkap sinyal
tersebut dan diteruskan ke radar. ”Di bumi, satelit mengirimkan data
dalam bentuk koordinat,” jelasnya.
Dari titik koordinat itulah lantas diset ke global positioning system
(GPS) untuk membaca lokasi. Begitu GPS menunjukkan ke mana arah yang
harus diambil, tim pencari mulai bergerak ke lokasi. Namun, proses
tersebut tidak terjadi pada ELT milik Sukhoi yang menabrak Gunung Salak,
Bogor.
Kalaupun alat tersebut menyala, sinyal yang dikeluarkan tidak bisa
dideteksi radar di Indonesia, Singapura, atau Australia. Karena itu,
pencarian akhirnya dilakukan dengan cara manual. ”Saya tidak tahu pasti,
mungkin hanya Rusia atau Sukhoi yang pakai frekuensi lama,” terang
Gagah.
Bukan tanpa alasan Gagah menyebut demikian. Saat ini maskapai
penerbangan rata-rata menggunakan pesawat dari pabrikan Eropa dan
Amerika. Nah, dua benua tersebut sepakat untuk sama-sama menggunakan
frekuensi 406 MHz. Dia yakin betul frekuensi tersebut dianut oleh
beberapa negara lain lantaran dominasi pesawat Eropa dan Amerika di
dunia.
Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Daryatmo menambahkan bahwa pihaknya
belum tahu pasti apakah ELT mengalami kerusakan atau tidak. Saat dibawa
dari dasar jurang, kondisi fisiknya memang lumayan bagus. Namun, apakah
saat kecelakaan alat itu berfungsi atau tidak, dia tak tahu pasti.
Di luar itu, Daryatmo menyampaikan bahwa tim SAR gabungan telah
mendekati bangkai ekor Sukhoi. Seperti diberitakan, ekor tersebut berada
di dasar jurang sedalam 500 meter dan diprediksi banyak jenazah korban
di sana. ”Cuaca dan medan masih jadi kendala, tapi kami sudah dekat di
ekor pesawat,” urainya.
Untuk black box, Daryatmo mengatakan belum ada di tangan tim pencari. Benda yang diduga black box sebelumnya ternyata hanya ELT, GPS, dan alat komunikasi lainnya. Jadi, pencarian masih terus dilakukan dan asumsi black box ada di antara ekor pesawat tidak berubah.
Skenario untuk pencarian hari ini tidak berubah. Tetap kombinasi SAR
udara dan SAR darat. Begitu juga dengan pola evakuasi. Kalau malam hari
ditemukan, black box atau korban akan dibawa ke Jakarta melalui
jalan darat atau menunggu keesokan paginya. ”Ada belasan helikopter di
lokasi. Kalau tidak bisa diatur, bisa muncul persoalan baru,” tegasnya.
Di bagian lain, delegasi Rusia kemarin menemui Wakil Presiden Boediono
di Kantor Wapres. Diantar Duta Besar Rusia untuk Indonesia Alexander
Ivanov, selama 30 menit, delegasi membicarakan seputar kecelakaan yang
terjadi di Gunung Salak, Bogor, itu.
Mereka, antara lain, Ketua delegasi khusus Rusia untuk mempelajari kasus
SSJ 100 Yuri Slyusar dan Presiden United Aircraft Corporation Mikhail
Pogosyan. Sementara itu, Wapres didampingi, antara lain, Wamenhub
Bambang Susantono, Dirjen Perhubungan Udara Herry Bhakti, dan Plh Dirjen
Amerika Eropa Kemenlu M. Wahid Supriyadi.
Juru Bicara Wapres Yopie Hidayat mengungkapkan, dalam pertemuan
tersebut, delegasi Rusia menegaskan bakal ikut membantu dan menyelidiki
penyebab kecelakaan pesawat SSJ 100. Yopie menyebut tiga kelompok
bantuan, yakni SAR, identifikasi korban, dan analisis penyebab
kecelakaan.
”Tim dari Rusia ini, ketiganya, berada di bawah kendali instansi
Indonesia,” tegas Yopie. Dengan demikian, dia menjamin, prosesnya akan
berlangsung transparan. Justru dengan bantuan itu, prosesnya akan
berjalan lebih mudah. ”Kredibel dan transparan juga menjadi kepentingan
Indonesia,” imbuhnya.
Yopie membantah adanya maksud lain dari kedatangan delegasi Rusia
tersebut kepada Wapres. Menurut dia, pertemuan itu hanya bersifat
audiensi. ”Wajar jika mereka melakukan courtesy call ke Wapres,” ucapnya.
Adakah permintaan agar black box dibawa ke Rusia? Menurut Yopie, permintaan tersebut tidak ada. Dia menegaskan, analisis black box
akan dilakukan di Indonesia. ”Kita menggunakan ketentuan bahwa itu
menjadi wewenang negara tempat lokasi kejadian kecelakaan,” tandasnya.
Namun, dia tidak memerinci bisa tidaknya KNKT menganalisis black box tersebut. ”Tanya KNKT, ya,” ucapnya.
Dalam pertemuan tersebut, Wapres menyatakan, musibah kecelakaan tersebut
tidak sampai mengganggu hubungan kedua negara. Wapres juga
menginstruksikan penuntasan penyelidikan secepatnya. ”Wapres meminta
supaya cepat dituntaskan dan memberikan penjelasan yang kredibel pada
dunia internasional yang memberikan perhatian pada kejadian ini,”
katanya. (*/sil)